Segala sesuatu yang kita lakukan tidak lepas dari ikatan
tauhid. Karena hidup kita di dunia hanya punya satu tujuan luhur, yaitu
mengabdi (beribadah) hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala (Tauhidullah). Inilah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala firmankan:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Sehingga apapun aktivitas kita, hendaknya bernilai ibadah di
sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, meski hanya sekadar interaksi dengan sesama. Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan
matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya’.”
(Al-An’am: 162-163)
Begitu agung nilai tauhid dalam kehidupan manusia,
seandainya mereka mau mengerti. Tapi kebanyakan kita seolah-olah tidak ingin
mengerti, merasa tauhid itu gampang. Subhanallah.
Seandainya benar yang mereka katakan, tentulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berjuang dengan sekuat tenaga, menjaga dan menutup semua pintu yang dapat
merusak tauhid pada umatnya. Perhatikanlah, hingga saat-saat beliau di atas
ranjang kematian, tak henti-hentinya beliau mengingatkan perkara tauhid ini.
‘Aisyah menceritakan: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam sakit
yang membawa ajalnya:
Ù„َعَÙ†َ
اللهُ الْÙŠَÙ‡ُودَ ÙˆَالنَّصَارَÙ‰ اتَّØ®َØ°ُوا Ù‚ُبُورَ Ø£َÙ†ْبِÙŠَائِÙ‡ِÙ…ْ Ù…َسَاجِدَ.
-Ù„َÙˆْÙ„َا Ø°َÙ„ِÙƒَ Ø£ُبْرِزَ Ù‚َبْرُÙ‡ُ
غَÙŠْرَ Ø£َÙ†َّÙ‡ُ Ø®َØ´ِÙŠَ Ø£َÙ†ْ
ÙŠُتَّØ®َØ°َ Ù…َسْجِدًا
“Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashara,
mereka telah menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid”, kalau tidak
demikian, tentulah ditampakkan kuburan beliau, hanya saja dikhawatirkan kuburan
itu dijadikan masjid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Menjadikan kuburan sebagai masjid, yakni sebagai tempat
ibadah; shalat dan berdoa di kuburan tersebut, dalam keadaan menyangka bahwa
ibadah di kuburan lebih utama daripada di tempat lain. Perbuatan seperti inilah
yang dahulu menjerumuskan kaum Nabi Nuh kepada penyembahan berhala. Wallahul
Musta’an.
Di antara faedah dan keutamaan tauhid yang ingin kami
ungkapkan di sini ialah bahwasanya tauhid itu memudahkan pemiliknya untuk
melakukan berbagai kebaikan, meninggalkan kemungkaran dan menghiburnya ketika
dia mengalami musibah.
Seseorang yang ikhlas dalam beriman dan bertauhid karena
Allah Subhanahu wa Ta'ala, tentu mudah baginya melakukan setiap bentuk ketaatan, karena dia
mengharap keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan pahala-Nya. Ringan pula baginya meninggalkan
segala macam kemaksiatan, karena rasa takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan siksa-Nya.
Ketika tauhid itu berakar kuat lagi sempurna dalam sanubari
seorang hamba, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan dia cinta kepada iman dan semua
konsekuensinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan indah dalam pandangannya keimanan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta'ala tumbuhkan kebencian pada dirinya terhadap kekafiran dengan segala bentuknya,
demikian pula berbagai kemaksiatan. Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menjadikannya sebagai bagian
dari orang-orang yang lurus (mendapat petunjuk).
Dengan kokohnya tauhid dalam diri seseorang, semakin besar
pula sikap ta’zhim (pengagungan) nya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia akan segera menjalankan
perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, segera pula menjauhi larangan-Nya. Sehingga jangan tanya
tentang hak yang harus ditunaikannya, atau kewajiban lain yang mesti
dijalankannya. Semua itu tentu akan segera dan sempurna dia laksanakan.
Seorang hamba yang jujur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala tentu hanya mencari
ridha Rabbnya semata, di manapun dia berada. Dia tidak akan mengharapkan
pujian, ketenaran, dan harta dunia lainnya. Dia hanya mengharap ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kejujuran iman
dan tauhid seorang manusia akan mendorongnya untuk menyampaikan amanah kepada
yang berhak. Hal ini sebagai bentuk ketaatan dan ta’zhim-nya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya.” (An-Nisa`: 58)
Ketika hati dipenuhi rasa ta’zhim (pengagungan) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,
pemiliknya tentu bersegera menunaikan hak yang ditanggungnya dan berusaha
sungguh-sungguh memenuhinya.
Sumber : Asysyariah
0 komentar :
Post a Comment