Ditulis Oleh Ustadz Abu Utsman Kharisman
(Syarh Hadits ke-11 Arbain AnNawawiyyah)
عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ
الْحَسَنِ بْنِ عَلِي بْنِ أبِي طَالِبٍ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَالاَيَرِيْبُكَ.
[رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح]
[رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح]
Dari Abu Muhammad, Al Hasan bin ‘Ali bin
Abu Thalib, cucu Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan kesayangan beliau
radhiallahu ‘anhuma telah berkata: “Aku telah menghafal (sabda) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam: “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu, bergantilah kepada apa yang
tidak meragukan kamu“.
(HR. Tirmidzi dan dia berkata: Ini adalah Hadits Hasan Shahih)
(HR. Tirmidzi dan dia berkata: Ini adalah Hadits Hasan Shahih)
PENJELASAN
Perawi Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hasan putra Ali bin
Abi Tholib radhiyallaahu ‘anhuma, cucu
Rasulullahshollallaahu ‘alaihi wasallam. Beliau
dinyatakan oleh Nabi :
ابْنِي
هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنْ
الْمُسْلِمِينَ
Putraku (cucuku) ini adalah pemuka
(sayyid), dan semoga Allah akan mendamaikan dengan sebabnya 2 kelompok kaum
muslimin (H.R al-Bukhari)
Terbukti, sikap beliau yang mau mengalah dan menyerahkan
kekuasaan kepada Muawiyah menyebabkan 2 pasukan besar: dari Iraq dan pasukan
dari Syam berdamai dan tidak terjadi pertumpahan darah.
Ketika Nabi meninggal, al-Hasan bin Ali masih berumur
7 tahun.
Meninggalkan hal-hal yang masih samar
kehalalannya
Hadits ini merupakan dalil yang memberikan panduan
bagi muslim untuk meninggalkan hal-hal yang masih samar (syubhat) dan
meragukan. Sebagai contoh, jika ada suatu makanan atau harta yang kita ragu
kehalalannya, maka tinggalkanlah, hingga kita yakin akan halalnya.
Semakna dengan hadits:
فَمَنِ
اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ
Barangsiapa yang menjaga diri dari
syubuhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya (H.R alBukhari)
Keyakinan dalam Berbuat dan Kelapangan
Jiwa
Seorang muslim membangun keyakinan dalam hatinya
ketika berbuat. Karena itu, ia kokohkan ilmunya sebelum berbuat, sebab ilmu
adalah landasan amal. Jika ada yang tidak ia pahami, ia tanyakan kepada orang
yang berilmu sehingga ia mantap untuk beramal di atas keyakinan. Semakin
bertambah keilmuan seseorang, semakin berkurang jumlah hal-hal yang
meragukannya dalam syariat.
Ia juga tidak mau larut pada kasak-kusuk maupun isu
yang tidak jelas jika ada saudaranya yang dicurigai. Ia akan melakukan tabayyun secara beradab hingga ia
mendapat kepastian dan keyakinan dalam berbuat. Segala bentuk keraguan ia
tinggalkan.
Ia akan berusaha bersikap jujur dan menjauhi
kedustaan, karena kejujuran akan mewariskan ketenangan, sedangkan kedustaan
menghasilkan kebimbangan dan ketidaktenangan.
فَإِنَّ
الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan
dan dusta adalah keraguan (H.R atTirmidzi, lanjutan potongan hadits al-Hasan di
atas).
Jika ia ragu pada sebuah pilihan, ia akan
bermusyawarah dengan orang yang ahli dan sholih kemudian beristikharah kepada
Allah.
Penyebab kegalauan hati dan kebimbangan yang utama
adalah kesyirikan. Seorang yang syirik, akan terombang-ambing dalam ketakutan
dan ketenangan yang semu. Ketakutannya akan semakin menjadi-jadi ketika ia
semakin bergantung kepada selain Allah.
Sebagai contoh, seorang yang minta tolong kepada Jin,
maka ikatannya akan semakin kuat dan bertambah kuat. Semakin bergantung kepada
pertolongan jin itu, semakin bertambah dosa dan ketakutannya
وَأَنَّهُ
كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ
رَهَقًا
Dan bahwasanya ada beberapa manusia
laki-laki meminta perlindungan kepada laki-laki Jin sehingga menambah kepada
mereka ketakutan (Q.S al-Jin: 6)
Demikian juga orang yang menggunakan jimat, semakin
bergantung pada jimat tersebut, semakin tidak tenang jiwanya
مَنْ
تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلَا أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلَا
وَدَعَ اللَّهُ لَه
Barangsiapa yang menggantungkan jimat,
semoga Allah tidak menyempurnakan keinginannya, barangsiapa yang menggantungkan
wada’ah (sejenis jimat), semoga Allah tidak memberikan ketenangan padanya (H.R
Ahmad, dishahihkan al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahaby, al-Haitsamy
menyatakan bahwa perawi-perawinya adalah terpercaya, al-Munawi menyatakan bahwa
sanadnya shahih)
Orang yang tidak beriman penuh dengan keragu-raguan
dalam jiwanya
إِنَّمَا
يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ
Sesungguhnya yang akan meminta idzin
kepadamu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir,
dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam
keragu-raguannya (Q.S atTaubah:45)
Kaidah Fiqh: Keyakinan Tidak Bisa
Dihilangkan dengan Keraguan
Salah satu kaidah fiqh yang dibangun dari dalil-dalil
al-Quran dan hadits adalah : al-yaqiinu laa
yuzaalu bisy-syak (keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan). Hadits
ini adalah salah satu dari sekian banyak dalil yang mendasari kaidah tersebut,
untuk meninggalkan keraguan menuju hal yang meyakinkan.
Sebagai contoh, jika seseorang ragu apakah ia sudah
berwudhu’ lagi atau belum setelah sebelumnya batal, maka yang dijadikan patokan
adalah kepastian bahwa ia sudah batal. Yang meragukan adalah berwudhu’ lagi.
Keraguan tersebut tidak diperhitungkan. Maka ia harus berwudhu’ lagi.
Sebaliknya, dalam kasus yang lain: jika ia ragu apakah
sudah batal wudhu’ atau belum, maka yang diambil adalah keyakinan bahwa ia
masih suci. Batalnya wudhu’ berdasarkan keraguan. Maka persangkaan batal wudhu’
itu hendaknya ditinggalkan, karena berdasar keraguan. Ia tidak wajib berwudhu’
lagi kecuali jika ia ingin berwudhu’ untuk mendapatkan keutamaan, karena
tidaklah seorang berwudhu’, kecuali akan berjatuhan dosa-dosanya ketika air
wudhu’ berjatuhan dari jari jemarinya. Berbeda halnya jika ia yakin bahwa
wudhu’nya sudah batal, maka ia wajib berwudhu’ jika akan sholat.
Referensi :
Taisiir Kariimir Rahman fii Tafsiiri
Kalaamil Mannaan (Tafsir as-Sa’di)
Fathul Qowiyyil Matiin karya
Syaikh Abdul Muhsin alAbbad
atTuhfatur Robbaniyyah karya
Syaikh Ismail bin Muhammad al-Anshary
Syarh al-Arbain anNawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin
Sholeh alUtsaimin
Syarh al-Arbain anNawawiyyah karya Syaikh Athiyyah bin
Muhammad Salim
Syarh al-Arbain anNawawiyyah karya Syaikh Sholeh Aalu
Syaikh
Syarh al-Arbain anNawawiyyah karya Sulaiman bin
Muhammad al-Luhaimid
Sumber : www.salafy.or.id
0 komentar :
Post a Comment