Seputar Idul Adha


Beberapa hari pertama dari bulan Dzulhijjah tahun ini telah kita lewati. Semoga Allah subhaanahu wa ta’aalaa menerima amal kita dan menghitungnya sebagai amalan yang dinyatakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidaklah ada suatu hari yang amal shalih yang dilakukan padanya lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini (yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Masih tersisa bagi kita di awal bulan ini beberapa hari yang memiliki keutamaan khusus dibanding hari-hari yang lain. Yaitu hari Arafah pada tanggal 9 dan keesokan harinya yang merupakan hari raya ‘Idul Adha. Berikutnya tiga hari setelah hari raya yang disebut hari tasyriq. Barangsiapa mengisi hari-hari itu dengan amalan yang sesuai dengan petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dia akan meraih keutamaan yang besar.
Namun sebelumnya, penting untuk kita ketahui bahwa di antara amalan yang disyariatkan untuk diperbanyak ketika memasuki 10 hari pertama bulan Dzulhijjah adalah mengucapkan takbir. Ibadah ini masih terus berlanjut hingga akhir hari-hari Tasyriq.
Puasa Arafah
Bagi jama’ah haji, hari Arafah adalah saat yang istimewa. Karena pada hari itulah puncak pelaksanaan manasik haji ditunaikan, yaitu wukuf di padang Arafah. Pada saat itulah Allah subhaanahu wa ta’aalaa memuji dan membanggakan mereka di hadapan para malaikat-Nya. Dan pada hari itulah, banyak hamba-hamba Allah subhaanahu wa ta’aalaa yang dibebaskan dari an-naar (api neraka). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba-hamba dari api neraka yang lebih banyak daripada hari Arafah, dan sesungguhnya Allah akan mendekat dan kemudian membanggakan mereka di hadapan para malaikat dan berfirman: apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim)
Bagi umat Islam yang tidak  sedang menunaikan ibadah haji pun, juga berkesempatan untuk mendapatkan keutamaan dan pahala yang besar di hari itu, yaitu dengan berpuasa (‘Arafah).
Walaupun hukumnya sunnah, namun amalan puasa yang dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah ini memiliki keutamaan yang sangat besar, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“(Puasa Arafah) menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim)
Diterangkan oleh an-Nawawi rahimahullaah bahwa puasa ‘Arafah itu bisa menggugurkan dosa-dosa pelakunya selama dua tahun. Dan yang dimaksud dosa di sini adalah dosa-dosa kecil. Kalau tidak memiliki dosa kecil, diharapkan bisa meringankan beban  akibat dosa besarnya. Jika tidak, maka diharapkan akan mengangkat derajat orang yang berpuasa ‘Arafah tersebut. (Syarh Shahih Muslim)
Maka dari itu, seorang muslim hendaknya tidak terlewatkan dari kesempatan meraih keutamaan yang sangat besar ini.
Amalan lain yang juga dikerjakan pada hari Arafah adalah memulai mengumandangkan takbir . Yaitu dimulai ketika selesai shalat shubuh sebagaimana telah disinggung di atas. Hanya saja para ulama berbeda pendapat, kapan lantunan kalimat yang mengandung pengagungan kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa ini diucapkan, apakah setelah istighfar (dalam bacaan dzikir setelah shalat), atau sebelumnya. Menurut Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullaah, yang benar adalah takbir ini diucapkan setelah istighfar dan kalimat ‘Allahumma antassalam wa minkassalam…’ (Asy-Syarhul Mumti’)
‘Idul Adha
Tanggal 10 Dzulhijjah adalah hari raya ‘Idul Adha. Menurut pendapat yang paling kuat di kalangan ulama, inilah hari haji akbar yang merupakan hari penunaian manasik haji yang paling utama dan paling tampak, di mana rangkaian manasik haji paling banyak dilaksanakan pada hari itu.
Disebut juga dengan hari nahr (نَحْرٌ), karena pada hari inilah dimulainya pelaksanaan nahr (dzabh atau penyembelihan) terhadap hewan kurban dan hewan hadyu (bagi jama’ah haji).
Adapun hari al-qarr adalah sehari setelah hari nahr, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah.
Shalat ‘Idul Adha
Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau biasa mengerjakan shalat dua hari raya di mushalla -(secara bahasa artinya tempat shalat)-. Para ulama menerangkan bahwa mushalla yang dimaksud di sini adalah tanah lapang, bukan masjid. Kecuali jika ada halangan, seperti hujan. Dalam kitab Shahih-nya, al-Imam al-Bukharirahimahullaah meriwayatkan sebuah hadits (yang artinya):
“Adalah Rasulullah dahulu keluar pada hari Idul Fitri dan Idul Adha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat.”
Shalat ‘Idul Adha disunnahkan untuk disegerakan pelaksanaannya agar kaum muslimin bisa  bersegera menyembelih hewan kurbannya. Karena demikianlah yang afdhal, bersegera melakukan penyembelihan agar daging kurban itu bisa segera dinikmati.

“Nabi -shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- tidaklah keluar di hari iedul Fithri sampai beliau makan, dan pada hari iedul Adh-ha beliau tak makan sampai beliau kembali lalu maka sebagian dari hewan korbannya”. (HR. Ahmad: 5/352), At-Tirmizi no. 542), dan Ibnu Majah no. 1756)
Ibnu Qudamah Al-Maqdasi -rahimahullah- berkata dalam Al-Mughni (2/113), “Sunnahnya di hari raya iedul fitri makan dulu sebelum sholat ied dan di hari raya iedul Adhha tak makan sampai usai sholat. Ini merupakan pendapat kebanyakan ahli ilmu, di antaranya Ali, Ibnu Abbas, Malik, Asy-Syafi’i, dan yang lainnya. Kami tidak mengetahui adanya khilaf di dalamnya”.
Sangat dianjurkan bagi kaum muslimin yang hendak menunaikan shalat ‘Id untuk mandi dan mengenakan pakaian yang paling baik sesuai dengan aturan syar’i dalam berpakaian. Bagi laki-laki sangat disukai untuk memakai wewangian, namun tidak bagi wanita.
Sepulang dari shalat ‘Id, disunnahkan untuk melalui jalan yang berbeda dengan jalan yang dilalui ketika berangkat. Kemudian bagi yang berkurban, hendaknya bersegera menyembelih hewan kurbannya.
Hari Tasyriq
Hari Tasyriq adalah tiga hari setelah hari nahr, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Menurut al-Imam an-Nawawirahimahullaah, dinamakan hari tasyriq karena pada hari-hari itu orang-orang melakukan tasyriq (mendendeng) daging kurban dan menjemurnya di terik matahari. (Syarh Shahih Muslim)
Adapun Ibnul ‘Arabi -sebagaimana dinukilkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah – mengatakan bahwa dinamakan hari tasyriq karena hewan-hewan sembelihan, baik hadyu maupun kurban itu tidaklah disembelih kecuali sampai matahari mengalami isyraq (terbit dan telah tampak bersinar). (Fathul Bari)
Hari-hari tasyriq juga diistilahkan dengan hari-hari Mina. Karena selama tiga hari ini, jama’ah haji sedang menyempurnakan rangkaian manasik haji mereka di Mina, yaitu mabit (bermalam) dan melempar jumrah di sana.
Disunnahkan pada hari-hari ini untuk memperbanyak dzikir kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa, sebagaimana yang diperintahkan dalam ayat-Nya (artinya):
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Al-Baqarah: 203)
Abdullah bin Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Yang dimaksud dengan ‘beberapa hari yang berbilang’ pada ayat tersebut adalah hari-hari tasyriq.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Pada asalnya, berdzikir adalah suatu amalan yang dituntunkan untuk dilakukan setiap saat, kapanpun dan di manapun. Namun ketika Allah subhaanahu wa ta’aalaa memerintahkan berdzikir khusus pada hari-hari tasyriq -sebagaimana dalam konteks ayat di atas-, ini menunjukkan bahwa berdzikir pada hari-hari itu memiliki nilai dan keutamaan yang lebih.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri pun juga telah menganjurkan umatnya untuk menjadikan hari tasyriq ini sebagai hari-hari untuk berdzikir kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلّهِ تَعَالَى
“Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari untuk menikmati makanan dan minuman, serta hari-hari untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala.” (HR. Muslim)
Al-Hafizh an-Nawawi rahimahullaah berkata, “Dalam hadits ini menunjukkan disukainya (disunnahkan) untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari itu (hari-hari tasyriq), berupa takbir dan yang lainnya.” (Lihat Syarh Shahih Muslim). Baik takbir muthlaq maupun takbir muqayyad. Baik di masjid, di jalan, di rumah, maupun di pasar. Demikianlah sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang sering dilalaikan oleh kaum muslimin sendiri.
Hadits di atas juga menunjukkan larangan berpuasa pada hari tasyriq. Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa hari-hari tersebut adalah saatnya untuk menikmati makanan dan minuman. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus salah seorang shahabatnya yang bernama Abdullah bin Hudzafah radhiyallaahu ‘anhu untuk berkeliling di Mina pada hari tasyriq sambil mengumumkan (yang artinya):
“Hendaknya kalian jangan berpuasa pada hari-hari ini (hari-hari tasyriq), karena itu adalah hari-hari untuk menikmati makanan, minuman, dan hari-hari untuk berdzikir kepada Allah ‘azza wajalla.” (HR. Ahmad)
Dikecualikan bagi jamaah haji (tamattu’ dan qiran) yang tidak memiliki hewan hadyu untuk disembelih, boleh bagi mereka berpuasa pada hari-hari itu, sebagai denda karena tidak menyembelih hewan hadyu yang merupakan salah satu kewajiban haji. Ini sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman-Nya (yang artinya):
“Tetapi jika ia tidak mendapatkan (hewan hadyu atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali.” (Al-Baqarah: 196)
Sehingga bagi kaum mukminin, hari-hari tasyriq merupakan hari yang terkumpul padanya dua kenikmatan, kenikmatan badan (lahir) dan kenikmatan hati (batin). Kenikmatan badan dengan diberikannya kesempatan untuk menikmati makanan dan minuman, terutama daging kurban, karena pada hari itu adalah termasuk waktu yang terlarang untuk berpuasa.
Sedangkan kenikmatan hati adalah dengan banyak berdzikir kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Karena dzikir itu bisa menenteramkan dan menenangkan hati.
“Ingatlah, hanya dengan berdzikir (mengingat) Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d: 28)
Tentang lafazh-lafazh takbir.
Tak ada satupun lafazh shohih yang datang dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, karenanya berdasarkan keumuman ayat maka boleh saja seseorang bertakbir dengan lafazh apa saja selama itu merupakan lafzh takbir.
Hanya saja, ada beberapa lafazh yang diriwayatkan dari para sahabat -radhiaallahu anhum ajma’in- dan tentunya mengikuti lafazh mereka lebih utama daripada kita mengarang lafazh takbir sendiri. Di antaranya
Dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhu- dalam riwayat Al-Baihaqi (3/315):
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ اَللهُ أَكْبَرُ وَأَجّلُّ اَللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا
Juga dari Salman Al-Farisy -radhiallahu ‘anhu- riwayat Al-Baihaqi (3/316), beliau berkata, “Bertakbirlah (dengan lafazh):
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Adapun lafazh takbir Ibnu Mas’ud -radhiallahu ‘anhu- riwayat Ibnu Abi Syaibah no. 5632, 5651:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Dan dalam riwayat lain dengan 3 kali takbir, maka riwayatnya lemah karena adanya ‘an’anah Abu Ishak As-Sabi’i dan dia adalah seorang mudallis.
Adapun tambahan yang diberikan oleh orang-orang di zaman kita pada lafazh takbir, maka semua itu merupakan buatan orang-orang belakangan, tak ada dasarnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Di zaman ini telah diciptakan semacam tambahan pada masalah itu (lafazh takbir) yang tak ada dasarnya”. (Lihat Fath Al-Bari: 2/536)

Sumber :

About Sivitas Aktivita Islamika

Terimakasih telah berkunjung di Blog Sivitas Aktivita Islamika Delayota, semoga artikel dalam blog ini berguna bagi kita semua, syukron
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Post a Comment